Rabu, 13 Agustus 2008

Program Pembangunan Pertanian: Telaah Kritis



Kebijakan Revitalisasi pertanian yang telah dicanangkan oleh Presiden Susilo Bambang Yodhoyono pada tanggal 11 Juni 2005 di waduk Jatiluhur Jawa Barat, bukan hanya sekedar maklumat seorang Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan atas kekhawatiran terhadap masa depan sektor pertanian di Republik ini, akan tetapi merupakan keinginan seorang Pemerintah Negara untuk menata kembali pembangunan pertanian secara menyeluruh melalui upaya Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan. Ketika berbagai harapan dalam rangka menjamin dan menjaga stabilitas politik, dibebankan pada sektor pertanian agar mampu menyediakan ketersediaan pangan untuk kebutuhan nasional, maka cita-cita yang terkandung dalam Revitalisasi menjadi angin segar bagi upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat petani yang setelah selama ini mereka hanya menjadi alat produksi dan pelengkap dalam rencana pembangunan secara umum. Selain itu, revitalisasi pertanian bertujuan untuk mengatasi kemiskinan dan pengangguran serta meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi nasional.
Sejajar dengan menguatnya optimisme nasional atas program tersebut, dan disertai dengan berbagai upaya-upaya terencana untuk mewujudkannya dalam situasi nyata, namun tentunya usaha penghampiran terhadap hasil-hasil studi dari pengalaman program terdahulu harus dilakukan agar optimisme ini mendapatkan realismenya. Hasil-hasil studi yang dimaksud adalah munculnya kecenderungan gejala “peminggiran” partisipasi warga petani di pedesaan, termasuk didalamnya golongan feriferi oleh kehadiran berbagai program dari Pemerintah. Gejala “peminggiran” ini oleh karena kurang terakomodasinya “social property” masyarakat, baik pada aras perencanaan maupun pelaksanaan, yang disebut terakhir berkaitan dengan dinamika keterlibatannya dalam kelembagaan bersangkutan. Persoalan ini muncul setelah ditengarai kurangnya partisipasi masyarakat dalam berbagai program pembangunan karena mereka merasa usaha untuk menuju pada arah perubahan yang menjadi tujuan pembangunan, bukan bagian dari perubahan bagi dirinya. Karena beberapa pengalaman program pembangunan menjadi tidak bermakna menurut masyarakat disebabkan kurang memperhatikan orientasi kebutuhan yang diharapkan oleh mereka (Soedjatmoko, 1985). Oleh karenanya, program revitalisasi pertanian dituntut strategi khusus dalam hal perencanaan maupun pelaksanaannya karena berkaitan dengan ketepatan sasaran yang dituju. Dari tahap ini muncul pertanyaan, apakah yang harus direvitalisasi ?, mengapa ?, maka pertanyaan selanjutnya adalah siapa saja pelaku-pelaku yang berkecimpung pada sektor pertanian ?, dan dimanakah mereka bertempat tinggal dan melaksanakan aktivitas pertanian ?
Sederet pertanyaan-pertanyaan ini mencoba memberikan titik terang bagi orientasi kinerja revitalisasi pertanian kedepan. Karena jika hal itu tidak dilakukan, kehendak cita-cita luhur hanya akan berbicara pada aras konsepsi namun tidak mampu berkiprah pada tingkat yang lebih operasional. Dan, revitalisasi pertanian hanya akan kehilangan orientasi ”obyek” kebijakan sebagai ”subyek” pelaksana pembangunan pertanian. Meski Kabinet Indonesia Bersatu melalui pola kebijakan yang digulirkan Departemen Pertanian, sebenarnya telah menetapkan revitalisasi sektor pertanian dan pedesaan yang sejalan dengan pengentasan kemiskinan sebagai salah satu dari tiga strategi yang digunakan untuk operasionalisasi konsep pembangunan yang menggunakan strategi tiga jalur (triple track strategy) yang ber-azas pro-growth, pro-employment, dan pro-poor. Dua strategi lainnya adalah peningkatan pertumbuhan ekonomi di atas 6,5 persen per tahun melalui percepatan investasi dan ekspor serta pembenahan sektor riil untuk mampu menyerap tambahan angkatan kerja dan menciptakan lapangan kerja baru (Bab I, Buku Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan, 2005).
Secara konsepsi, Revitalisasi pertanian mengandung arti kesadaran untuk menempatkan kembali arti penting sektor pertanian secara proporsional dan konstekstual, dalam arti menyegarkan kembali vitalitas serta memberdayakan kemampuan dan meningkatkan kinerja pertanian dalam pembangunan nasional dengan tidak mengabaikan sektor lain. Revitalisasi pertanian dimaksudkan sebagai upaya membangun pertanian dengan cara yang lebih partisipatif, dan bukan berorientasi proyek untuk mendulang dana. Melalui revitalisasi pertanian diharapkan tumbuh komitmen dan kerjasama seluruh stakeholder serta adanya perubahan paradigma pola pikir masyarakat dalam melihat pertanian. Dalam hal ini pertanian seharusnya tidak hanya dilihat sebagai urusan bercocok tanam yang sekedar menghasilkan komoditas untuk dikonsumsi, tetapi juga mempunyai multifungsi dan merupakan way of life serta sumber kehidupan sebagian masyarakat Indonesia. Setelah itu, tumbuh mekanisme kesadaran pola pikir akan arti penting ”pelaku-pelaku” pada sektor pertanian yang perlu juga disejajarkan dalam hal kelayakan kualitas kehidupannya dengan masyarakat lainnya yang lebih sejahtera, segi pendapatannya dari hasil jerih payah yang telah dilakukannya. Meski hal itu hanya sebuah cita-cita yang berbeda sekali dengan kenyataan sesungguhnya tentang kehidupan petani, karena nyaris hampir sepuluh tahun terakhir nasib petani tidak ada yang berubah. Mereka tetap menghadapi masalah yang sama mulai dari rendahnya harga gabah, tingginya harga pupuk, sulitnya mendapatkan air irigasi, hingga kuatnya jeratan para tengkulak (Kompas, 16-8-07).
Melihat kenyataan bahwa: 1) sekitar 70% rakyat Indonesia hidup di pedesaan, 2) hampir 50% dari total angkatan kerja nasional rakyat Indonesia menggantungkan hidupnya di sektor pertanian, dan 3) sekitar 80% rakyat Indonesia hanya mengenyam pendidikan paling tinggi selama enam tahun (Dilon, 2004), dan data terbaru Biro Pusat Statistik tahun (2007) 63,52 penduduk miskin tinggal di pedesaan. Dengan demikian maka grand strategy revitalisasi pertanian diarahkan pada komunitas petani berbasis di pedesaan agar meningkat pendapatannya, aksebilitas tenaga kerja pertanian pada sektor agroindustri, dan peniadaan kemiskinan. Pijakan pola program yang diarahkan pada perkembangan dalam arti ”kemajuan” (baca: modernisasi) pada masyarakat petani di pedesaan dalam bidang teknologi produksi, dan peningkatan penggunaan tenaga kerja di sektor pertanian agar dapat menjadi leading sector peningkatan pendapatan dan selanjutnya terbebas dari jeratan kemiskinan menjadi relevan jika dimensi kehidupan sosialnya juga memperoleh perhatian yang seimbang.
Sangat sering, modernisasi masyarakat-masyarakat pertanian tradisional ditafsirkan seolah-olah sebagai suatu yang dapat diresapkan dengan kemajuan teknologi. Kemajuan yang cepat di bidang ekonomi dan sosial diharapkan terjadi sebagai konsekuensi segera atas ”diperkenalkannya” suatu ”paket teknik” modern ke dalam suatu tipe pertanian subsisten (berproduksi pas-pasan). Tetapi bagaimanapun pentingnya modernisasi teknologi itu, menurut Sayogyo dalam Karyanya yang terkenal Modernization without Development (1972/3) seperti dikutip Tjondronegoro (1996:p.24), tidak dengan sendirinya menjamin terjadinya pembangunan, seperti yang disangkakan secara naif oleh banyak teknokrat dan birokrat. Development dalam pengertian Sayogyo adalah adanya perbaikan struktur sosial sedemikian rupa sehingga golongan lemah juga bertambah baik kemandiriannya, kedudukaannya, maupun nasibnya. Tidak mungkinnya membangkitkan pembangunan pertanian yang murni melalui transfer teknologi telah dikukuhkan oleh rencana pembangunan pertanian yang sia-sia, yang secara sepihak mengalihkan investasi ke dalam teknologi dan mengabaikan pertimbangan-pertimbangan organisasi sosialnya. Cepat atau lambat penganjur-penganjur kemajuan pada masyarakat petani di pedesaan akan mengalami kendala besar dan menimbulkan pertanyaan mengapa teknologi-teknologi tersebut tidak dapat diserap oleh masyarakat, kalaupun teknologi itu dapat diserap oleh masyarakat akan tetapi tidak menimbulkan kemajuan yang diharapkan bagi masyarakat khususnya segi pendapatan. Hal terakhir yang dikemukakan akan menimbulkan dampak lanjutan yaitu kurangnya partisipasi masyarakat terhadap pelaksanaan pembangunan.
Gejala rendahnya respon komunitas petani terhadap luncuran program revitalisasi pertanian dapat dilihat dari fakta-fakta daya serap instrument program yang dibuat oleh Pemerintah dalam mendukung Revitalisasi Pertanian tersebut. Salah satu contoh, subsidi benih padi untuk mendorong penambahan produksi beras tahun (2007) meleset dari target. Realisasi penyaluran benih padi varietas unggul baru mencapai 32.000 ton atau hanya 32 % dari target 100.000 ton (Kompas, 8-10-07). Kenyataan ini menimbulkan berbagai pertanyaan, apakah petani tidak bersedia menerima berbagai program dari pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka ?. apakah kendala-kendala yang dihadapi oleh petani, sehingga mereka tidak merespon berbagai program yang bertujuan untuk meningkatkan ”kesejahteraan” mereka ?.
Selain rendahnya respon petani terhadap berbagai program insentif yang diberikan oleh Pemerintah, juga hadirnya masalah-masalah lain yang muncul dari dampak mekanisme pemberian tersebut. Seperti: pertama; lemahnya kontrol pada jalur penyaluran insentif kepada petani (Kompas, 18-02-2007) yang dapat menimbulkan kecurangan dalam mekanisme proses tersebut, dan kedua; lemahnya akurasi data pertanian sehingga kebijakan yang bertujuan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan pertanian kurang tepat (Kompas, 12 Januari, 2007). Hal ini dapat menimbulkan berbagai persoalan yaitu benturan kepentingan, antara kepentingan tujuan revitalisasi pertanian yang diinginkan oleh Pemerintah dengan kepentingan komunitas petani dalam memahami dan mengkatualisasikan konsep kehidupan dalam aktivitasnya sebagai warga bangsa.
Persoalannya menjadi rumit ketika berbagai insentif yang diberikan oleh Pemerintah yang bertujuan sebagai stimulan unit produksi petani tidak dibarengi dengan kemampuan masyarakat ”mereorganisasi sosial” yang berkaitan dengan unit-unit usaha pertanian. Karena terkait dengan perbedaan kemampuan kultural masing-masing masyarakat dalam merespon perubahan oleh karena penetrasi unsur-unsur dari luar komunitas. Sementara dalam hal implementasi program pembangunan pertanian, terkait dengan konteks revitalisasi pertanian bersifat universal (skala nasional), padahal seharusnya diakui tidak ada visi dan strategi pembangunan yang bersifat umum karena setiap bangsa memiliki cara sendiri untuk mencapai tujuan pembangunannya sesuai dengan kulturnya (Marzali, 2005). Masyarakat hanya akan melibatkan diri dalam pembangunan apabila mempunyai motivasi untuk berbuat demikian jika pembangunan yang dimaksud berlatar pada harapan-harapan dan nilai-nilai yang tumbuh dari masyarakat serta merupakan realisasi dari cita-cita mereka sebagai warga manusia yang berkeinginan untuk meningkatkan kemakmurannya (Suseno, 1993).
Oleh karena itu, Selayaknya model pembangunan tidak harus memiliki daya universal termasuk pembangunan pertanian. Karena setiap Bangsa, Negara dan masyarakat mempunyai pengalaman sendiri dalam sejarah mereka, yang harus selalu diperhitungkan dalam menjalankan program pembangunan yang manapun. Dari sini maka pihak pengalaman-pengalaman khusus tersebut memberinya kemungkinan dan keharusan untuk merumuskan model mana yang cocok bagi dirinya (Kleden, 1984: xvii-xviii).
Suatu ciri menonjol dari masyarakat-masyarakat pertanian tradisional adalah ”keterbelakangan organisasional” (Cernea, 1981:p.144-146). Konsep ini penting untuk memahami definisi umum atas keterbelakangan, dan selanjutnya mengkonseptualisasikan bagi persyaratan-persyaratan modernisasi. Menurut Cernea mengutip temuan Nash (1967:p.5) organisasi kehidupan ekonomi dalam masyarakat-masyarakat petani tradisional dapat dijelaskan dalam kerangka dua dimensi utama: pertama; sumbu-sumbu teknologis kegiatan produksi—agak sederhana dalam sistem-sistem petani tradisional. Hal ini ditandai oleh rendahnya tingkat pembagian kerja dan tidak adanya keragaman keahlian di antara para petani tersebut, dan yang sebagian besar tergantung pada tenaga manusia untuk menjalankan alat-alat produksi. Kegiatan-kegiatan pertanian dilakukan secara sinkretis, tanpa spesialisasi dalam tugas-tugasnya, dan karenanya tanpa kebutuhan yang kuat untuk saling mendukung antara petani satu dengan lainnya. Dengan demikian membawa kurangnya alokasi sumber-sumber daya kepada perkembangan teknologi. Mekanisme ekonomi tidak peka terhadap kemungkinan perubahan teknik, dan perubahan seperti itu terjadi akan tetapi amat kecil dan lambat. Dan kedua; struktur serta keanggotaan unit-unit produksi. Ciri umum keanggotaan unit produksi usaha tani tradisional adanya organisasi sosial yang tidak tersepesialisasi seperti asumsi umum teori-teori ”ekonomi” klasik untuk kebutuhan tujuan produksi. Masyarakat petani tradisional tidak mempunyai organisasi-organisasi yang tugasnya hanya untuk berproduksi saja, dan unit-unit sosial yang sifatnya tahan lama yang fungsinya semata-mata kepada kegiatan berproduksi.
Apabila mengikuti pemikiran Cernea, dari perspektif mereka yang mengaku sebagai strukturalis—modernis dan berposisi di pusat kekuasaan, daerah pedalaman dianggap terpinggir karena mereka tidak mampu berubah, ”berkembang” atau menjadi modern. Implikasinya, perbedaan yang terlihat di pinggiran menegaskan adanya jarak dengan kemajuan yang sudah dicapai oleh pusat atau kota. Padahal daerah pedalaman yang sementara ini dianggap sebagai tradisional telah bertahan dalam bentuknya sendiri mengikuti pola transformasinya dan mewujud dalam tatanan kompleks juga, dan hal yang sama terjadi pula pada tempat penduduk yang dianggap modern. Artinya, dengan menolak asumsi bahwa evolusi hanya berlangsung dalam lintasan searah dari tradisional ke modern, kita akan dapat mengetahui kronologis perubahan yang terjadi pada masyarakat tradisional juga dalam kerangka merespon kebutuhan perkembangan unit-unit produksi dalam wadah sosial memadai. Menurut Li (2002:p.9-10) Dalam kasus masyarakat-masyarakat tradisional di Indonesia, dari hasil-hasil pengamatan paling mutakhir mengungkapkan bahwa interaksi yang lama antara masyarakat tradisional dengan masyarakat yang dekat dengan sumber kekuasaan serta pengaruh dari program-program Pemerintah, dan daya tarik pasar nasional maupun internasional terhadap produk-produk mereka ternyata berperan sangat penting bagi perubahan dan pembentukan ulang kebudayaan dan mekanisme kehidupan mereka, dan menjadi identitas mereka menjadi sebuah masyarakat. Tradisi unik mereka merupakan hasil perubahan bukan antitesisnya. Selain itu perubahan juga bukan kesulitan bagi masyarakat tradisional yang harus menjadi pilihan dikotomis, antara kebutuhan sosial dan kebutuhan berproduksi. Namun semua itu berlangsung secara terus menerus dilakukan oleh masyarakat sebagai suatu kelangsungan yang harus dilakukan dibawah konstruksi sosial dan suasana harmonis. Dengan demikian, apakah kesederhanaan organisasi sosial masyarakat tradisional dalam wujudnya namun memiliki fungsi praksis bagi kehidupan mereka itu seperti sangkaan Cernea maupun Li, dianggap tidak mampu menjadi modern atau berperan dalam struktur modernitas ?
Bagi tokoh penganjur evolusionis, menganggap bahwa setiap masyarakat akan terus berkembang mengikuti pola linier melaju ke tahap akhir seperti yang telah dikemukakan Comte. Namun demikian pola perkembangannya, menurut Sorokin tidak memiliki watak yang selalu harus sama, dan tidak hanya berbentuk pelipat gandaan bentuk masyarakat sebelumnya akan tetapi memiliki variasi-variasi yang tergantung pada tema-tema budaya yang luas diaktualisasikan (Johnson, 1988:p.95). Kenyataan ini memperjelas paham perkembangan tentang masyarakat dalam dua dimensi yang disatukan. Meskipun menimbulkan kerancuan analisis, karena kurang deterministis dalam menentukan bentuk perkembangan masyarakat dari penyebab kausalnya, polanya, dan bentuk akhirnya, akan tetapi hal yang dapat ditangkap adalah bahwa kemajuan masyarakat mewujud dalam watak yang dinamis dan variatif. Hal ini, juga secara tersirat dikemukakan Hoselitz, dalam bukunya Role of Incentives in Industrialization (1963) seperti dikutip Sayogyo, bahwa supaya masyarakat Desa dapat maju tidak harus didorong untuk bekerja keras, akan tetapi memberikan ”perangsang” sedemikian rupa sehingga dapat memperbesar kegiatan orang bekerja, memperbesar keinginan orang untuk menghemat dan menabung, serta memperbesar keberanian orang untuk mengambil resiko usaha, agar mereka dapat beraktifitas mengikuti pola sistem-sistem pola produksi modern (2002:p.25-26). Sehingga kebijakan dalam kerangka revitalisasi pertanian yang diwujudkan dalam program pembangunan pertanian dalam berbagai bentuknya yang bertujuan untuk peningkatan kemajuan masyarakat petani, seperti inovasi teknologi, kemudahan fasilitas kredit, dan land reform menuju kearah peningkatan kemampuan untuk berusaha sendiri hendaknya dipadukan dengan struktur sosial (Soedjatmoko, 1983:p.72-75; Sjahrir, 1988:p.314-323; Korten, 1988:p.374-379). Selanjutnya, bagaimanakah ranah kontekstual ”struktur masyarakat” yang dapat berfungsi sebagai mediasi bagi kelangsungngan kemajuan masyarakat termasuk di dalamnya mampu menampung ”air” pembangunan baik yang hasil kucuran dari masyarakat itu sendiri maupun rembesan yang berasal dari luar masyarakat, tidak terkecuali Pemerintah sebagai agen Pembangunan ?.