Rabu, 13 Agustus 2008

Program Pembangunan Pertanian: Telaah Kritis



Kebijakan Revitalisasi pertanian yang telah dicanangkan oleh Presiden Susilo Bambang Yodhoyono pada tanggal 11 Juni 2005 di waduk Jatiluhur Jawa Barat, bukan hanya sekedar maklumat seorang Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan atas kekhawatiran terhadap masa depan sektor pertanian di Republik ini, akan tetapi merupakan keinginan seorang Pemerintah Negara untuk menata kembali pembangunan pertanian secara menyeluruh melalui upaya Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan. Ketika berbagai harapan dalam rangka menjamin dan menjaga stabilitas politik, dibebankan pada sektor pertanian agar mampu menyediakan ketersediaan pangan untuk kebutuhan nasional, maka cita-cita yang terkandung dalam Revitalisasi menjadi angin segar bagi upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat petani yang setelah selama ini mereka hanya menjadi alat produksi dan pelengkap dalam rencana pembangunan secara umum. Selain itu, revitalisasi pertanian bertujuan untuk mengatasi kemiskinan dan pengangguran serta meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi nasional.
Sejajar dengan menguatnya optimisme nasional atas program tersebut, dan disertai dengan berbagai upaya-upaya terencana untuk mewujudkannya dalam situasi nyata, namun tentunya usaha penghampiran terhadap hasil-hasil studi dari pengalaman program terdahulu harus dilakukan agar optimisme ini mendapatkan realismenya. Hasil-hasil studi yang dimaksud adalah munculnya kecenderungan gejala “peminggiran” partisipasi warga petani di pedesaan, termasuk didalamnya golongan feriferi oleh kehadiran berbagai program dari Pemerintah. Gejala “peminggiran” ini oleh karena kurang terakomodasinya “social property” masyarakat, baik pada aras perencanaan maupun pelaksanaan, yang disebut terakhir berkaitan dengan dinamika keterlibatannya dalam kelembagaan bersangkutan. Persoalan ini muncul setelah ditengarai kurangnya partisipasi masyarakat dalam berbagai program pembangunan karena mereka merasa usaha untuk menuju pada arah perubahan yang menjadi tujuan pembangunan, bukan bagian dari perubahan bagi dirinya. Karena beberapa pengalaman program pembangunan menjadi tidak bermakna menurut masyarakat disebabkan kurang memperhatikan orientasi kebutuhan yang diharapkan oleh mereka (Soedjatmoko, 1985). Oleh karenanya, program revitalisasi pertanian dituntut strategi khusus dalam hal perencanaan maupun pelaksanaannya karena berkaitan dengan ketepatan sasaran yang dituju. Dari tahap ini muncul pertanyaan, apakah yang harus direvitalisasi ?, mengapa ?, maka pertanyaan selanjutnya adalah siapa saja pelaku-pelaku yang berkecimpung pada sektor pertanian ?, dan dimanakah mereka bertempat tinggal dan melaksanakan aktivitas pertanian ?
Sederet pertanyaan-pertanyaan ini mencoba memberikan titik terang bagi orientasi kinerja revitalisasi pertanian kedepan. Karena jika hal itu tidak dilakukan, kehendak cita-cita luhur hanya akan berbicara pada aras konsepsi namun tidak mampu berkiprah pada tingkat yang lebih operasional. Dan, revitalisasi pertanian hanya akan kehilangan orientasi ”obyek” kebijakan sebagai ”subyek” pelaksana pembangunan pertanian. Meski Kabinet Indonesia Bersatu melalui pola kebijakan yang digulirkan Departemen Pertanian, sebenarnya telah menetapkan revitalisasi sektor pertanian dan pedesaan yang sejalan dengan pengentasan kemiskinan sebagai salah satu dari tiga strategi yang digunakan untuk operasionalisasi konsep pembangunan yang menggunakan strategi tiga jalur (triple track strategy) yang ber-azas pro-growth, pro-employment, dan pro-poor. Dua strategi lainnya adalah peningkatan pertumbuhan ekonomi di atas 6,5 persen per tahun melalui percepatan investasi dan ekspor serta pembenahan sektor riil untuk mampu menyerap tambahan angkatan kerja dan menciptakan lapangan kerja baru (Bab I, Buku Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan, 2005).
Secara konsepsi, Revitalisasi pertanian mengandung arti kesadaran untuk menempatkan kembali arti penting sektor pertanian secara proporsional dan konstekstual, dalam arti menyegarkan kembali vitalitas serta memberdayakan kemampuan dan meningkatkan kinerja pertanian dalam pembangunan nasional dengan tidak mengabaikan sektor lain. Revitalisasi pertanian dimaksudkan sebagai upaya membangun pertanian dengan cara yang lebih partisipatif, dan bukan berorientasi proyek untuk mendulang dana. Melalui revitalisasi pertanian diharapkan tumbuh komitmen dan kerjasama seluruh stakeholder serta adanya perubahan paradigma pola pikir masyarakat dalam melihat pertanian. Dalam hal ini pertanian seharusnya tidak hanya dilihat sebagai urusan bercocok tanam yang sekedar menghasilkan komoditas untuk dikonsumsi, tetapi juga mempunyai multifungsi dan merupakan way of life serta sumber kehidupan sebagian masyarakat Indonesia. Setelah itu, tumbuh mekanisme kesadaran pola pikir akan arti penting ”pelaku-pelaku” pada sektor pertanian yang perlu juga disejajarkan dalam hal kelayakan kualitas kehidupannya dengan masyarakat lainnya yang lebih sejahtera, segi pendapatannya dari hasil jerih payah yang telah dilakukannya. Meski hal itu hanya sebuah cita-cita yang berbeda sekali dengan kenyataan sesungguhnya tentang kehidupan petani, karena nyaris hampir sepuluh tahun terakhir nasib petani tidak ada yang berubah. Mereka tetap menghadapi masalah yang sama mulai dari rendahnya harga gabah, tingginya harga pupuk, sulitnya mendapatkan air irigasi, hingga kuatnya jeratan para tengkulak (Kompas, 16-8-07).
Melihat kenyataan bahwa: 1) sekitar 70% rakyat Indonesia hidup di pedesaan, 2) hampir 50% dari total angkatan kerja nasional rakyat Indonesia menggantungkan hidupnya di sektor pertanian, dan 3) sekitar 80% rakyat Indonesia hanya mengenyam pendidikan paling tinggi selama enam tahun (Dilon, 2004), dan data terbaru Biro Pusat Statistik tahun (2007) 63,52 penduduk miskin tinggal di pedesaan. Dengan demikian maka grand strategy revitalisasi pertanian diarahkan pada komunitas petani berbasis di pedesaan agar meningkat pendapatannya, aksebilitas tenaga kerja pertanian pada sektor agroindustri, dan peniadaan kemiskinan. Pijakan pola program yang diarahkan pada perkembangan dalam arti ”kemajuan” (baca: modernisasi) pada masyarakat petani di pedesaan dalam bidang teknologi produksi, dan peningkatan penggunaan tenaga kerja di sektor pertanian agar dapat menjadi leading sector peningkatan pendapatan dan selanjutnya terbebas dari jeratan kemiskinan menjadi relevan jika dimensi kehidupan sosialnya juga memperoleh perhatian yang seimbang.
Sangat sering, modernisasi masyarakat-masyarakat pertanian tradisional ditafsirkan seolah-olah sebagai suatu yang dapat diresapkan dengan kemajuan teknologi. Kemajuan yang cepat di bidang ekonomi dan sosial diharapkan terjadi sebagai konsekuensi segera atas ”diperkenalkannya” suatu ”paket teknik” modern ke dalam suatu tipe pertanian subsisten (berproduksi pas-pasan). Tetapi bagaimanapun pentingnya modernisasi teknologi itu, menurut Sayogyo dalam Karyanya yang terkenal Modernization without Development (1972/3) seperti dikutip Tjondronegoro (1996:p.24), tidak dengan sendirinya menjamin terjadinya pembangunan, seperti yang disangkakan secara naif oleh banyak teknokrat dan birokrat. Development dalam pengertian Sayogyo adalah adanya perbaikan struktur sosial sedemikian rupa sehingga golongan lemah juga bertambah baik kemandiriannya, kedudukaannya, maupun nasibnya. Tidak mungkinnya membangkitkan pembangunan pertanian yang murni melalui transfer teknologi telah dikukuhkan oleh rencana pembangunan pertanian yang sia-sia, yang secara sepihak mengalihkan investasi ke dalam teknologi dan mengabaikan pertimbangan-pertimbangan organisasi sosialnya. Cepat atau lambat penganjur-penganjur kemajuan pada masyarakat petani di pedesaan akan mengalami kendala besar dan menimbulkan pertanyaan mengapa teknologi-teknologi tersebut tidak dapat diserap oleh masyarakat, kalaupun teknologi itu dapat diserap oleh masyarakat akan tetapi tidak menimbulkan kemajuan yang diharapkan bagi masyarakat khususnya segi pendapatan. Hal terakhir yang dikemukakan akan menimbulkan dampak lanjutan yaitu kurangnya partisipasi masyarakat terhadap pelaksanaan pembangunan.
Gejala rendahnya respon komunitas petani terhadap luncuran program revitalisasi pertanian dapat dilihat dari fakta-fakta daya serap instrument program yang dibuat oleh Pemerintah dalam mendukung Revitalisasi Pertanian tersebut. Salah satu contoh, subsidi benih padi untuk mendorong penambahan produksi beras tahun (2007) meleset dari target. Realisasi penyaluran benih padi varietas unggul baru mencapai 32.000 ton atau hanya 32 % dari target 100.000 ton (Kompas, 8-10-07). Kenyataan ini menimbulkan berbagai pertanyaan, apakah petani tidak bersedia menerima berbagai program dari pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka ?. apakah kendala-kendala yang dihadapi oleh petani, sehingga mereka tidak merespon berbagai program yang bertujuan untuk meningkatkan ”kesejahteraan” mereka ?.
Selain rendahnya respon petani terhadap berbagai program insentif yang diberikan oleh Pemerintah, juga hadirnya masalah-masalah lain yang muncul dari dampak mekanisme pemberian tersebut. Seperti: pertama; lemahnya kontrol pada jalur penyaluran insentif kepada petani (Kompas, 18-02-2007) yang dapat menimbulkan kecurangan dalam mekanisme proses tersebut, dan kedua; lemahnya akurasi data pertanian sehingga kebijakan yang bertujuan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan pertanian kurang tepat (Kompas, 12 Januari, 2007). Hal ini dapat menimbulkan berbagai persoalan yaitu benturan kepentingan, antara kepentingan tujuan revitalisasi pertanian yang diinginkan oleh Pemerintah dengan kepentingan komunitas petani dalam memahami dan mengkatualisasikan konsep kehidupan dalam aktivitasnya sebagai warga bangsa.
Persoalannya menjadi rumit ketika berbagai insentif yang diberikan oleh Pemerintah yang bertujuan sebagai stimulan unit produksi petani tidak dibarengi dengan kemampuan masyarakat ”mereorganisasi sosial” yang berkaitan dengan unit-unit usaha pertanian. Karena terkait dengan perbedaan kemampuan kultural masing-masing masyarakat dalam merespon perubahan oleh karena penetrasi unsur-unsur dari luar komunitas. Sementara dalam hal implementasi program pembangunan pertanian, terkait dengan konteks revitalisasi pertanian bersifat universal (skala nasional), padahal seharusnya diakui tidak ada visi dan strategi pembangunan yang bersifat umum karena setiap bangsa memiliki cara sendiri untuk mencapai tujuan pembangunannya sesuai dengan kulturnya (Marzali, 2005). Masyarakat hanya akan melibatkan diri dalam pembangunan apabila mempunyai motivasi untuk berbuat demikian jika pembangunan yang dimaksud berlatar pada harapan-harapan dan nilai-nilai yang tumbuh dari masyarakat serta merupakan realisasi dari cita-cita mereka sebagai warga manusia yang berkeinginan untuk meningkatkan kemakmurannya (Suseno, 1993).
Oleh karena itu, Selayaknya model pembangunan tidak harus memiliki daya universal termasuk pembangunan pertanian. Karena setiap Bangsa, Negara dan masyarakat mempunyai pengalaman sendiri dalam sejarah mereka, yang harus selalu diperhitungkan dalam menjalankan program pembangunan yang manapun. Dari sini maka pihak pengalaman-pengalaman khusus tersebut memberinya kemungkinan dan keharusan untuk merumuskan model mana yang cocok bagi dirinya (Kleden, 1984: xvii-xviii).
Suatu ciri menonjol dari masyarakat-masyarakat pertanian tradisional adalah ”keterbelakangan organisasional” (Cernea, 1981:p.144-146). Konsep ini penting untuk memahami definisi umum atas keterbelakangan, dan selanjutnya mengkonseptualisasikan bagi persyaratan-persyaratan modernisasi. Menurut Cernea mengutip temuan Nash (1967:p.5) organisasi kehidupan ekonomi dalam masyarakat-masyarakat petani tradisional dapat dijelaskan dalam kerangka dua dimensi utama: pertama; sumbu-sumbu teknologis kegiatan produksi—agak sederhana dalam sistem-sistem petani tradisional. Hal ini ditandai oleh rendahnya tingkat pembagian kerja dan tidak adanya keragaman keahlian di antara para petani tersebut, dan yang sebagian besar tergantung pada tenaga manusia untuk menjalankan alat-alat produksi. Kegiatan-kegiatan pertanian dilakukan secara sinkretis, tanpa spesialisasi dalam tugas-tugasnya, dan karenanya tanpa kebutuhan yang kuat untuk saling mendukung antara petani satu dengan lainnya. Dengan demikian membawa kurangnya alokasi sumber-sumber daya kepada perkembangan teknologi. Mekanisme ekonomi tidak peka terhadap kemungkinan perubahan teknik, dan perubahan seperti itu terjadi akan tetapi amat kecil dan lambat. Dan kedua; struktur serta keanggotaan unit-unit produksi. Ciri umum keanggotaan unit produksi usaha tani tradisional adanya organisasi sosial yang tidak tersepesialisasi seperti asumsi umum teori-teori ”ekonomi” klasik untuk kebutuhan tujuan produksi. Masyarakat petani tradisional tidak mempunyai organisasi-organisasi yang tugasnya hanya untuk berproduksi saja, dan unit-unit sosial yang sifatnya tahan lama yang fungsinya semata-mata kepada kegiatan berproduksi.
Apabila mengikuti pemikiran Cernea, dari perspektif mereka yang mengaku sebagai strukturalis—modernis dan berposisi di pusat kekuasaan, daerah pedalaman dianggap terpinggir karena mereka tidak mampu berubah, ”berkembang” atau menjadi modern. Implikasinya, perbedaan yang terlihat di pinggiran menegaskan adanya jarak dengan kemajuan yang sudah dicapai oleh pusat atau kota. Padahal daerah pedalaman yang sementara ini dianggap sebagai tradisional telah bertahan dalam bentuknya sendiri mengikuti pola transformasinya dan mewujud dalam tatanan kompleks juga, dan hal yang sama terjadi pula pada tempat penduduk yang dianggap modern. Artinya, dengan menolak asumsi bahwa evolusi hanya berlangsung dalam lintasan searah dari tradisional ke modern, kita akan dapat mengetahui kronologis perubahan yang terjadi pada masyarakat tradisional juga dalam kerangka merespon kebutuhan perkembangan unit-unit produksi dalam wadah sosial memadai. Menurut Li (2002:p.9-10) Dalam kasus masyarakat-masyarakat tradisional di Indonesia, dari hasil-hasil pengamatan paling mutakhir mengungkapkan bahwa interaksi yang lama antara masyarakat tradisional dengan masyarakat yang dekat dengan sumber kekuasaan serta pengaruh dari program-program Pemerintah, dan daya tarik pasar nasional maupun internasional terhadap produk-produk mereka ternyata berperan sangat penting bagi perubahan dan pembentukan ulang kebudayaan dan mekanisme kehidupan mereka, dan menjadi identitas mereka menjadi sebuah masyarakat. Tradisi unik mereka merupakan hasil perubahan bukan antitesisnya. Selain itu perubahan juga bukan kesulitan bagi masyarakat tradisional yang harus menjadi pilihan dikotomis, antara kebutuhan sosial dan kebutuhan berproduksi. Namun semua itu berlangsung secara terus menerus dilakukan oleh masyarakat sebagai suatu kelangsungan yang harus dilakukan dibawah konstruksi sosial dan suasana harmonis. Dengan demikian, apakah kesederhanaan organisasi sosial masyarakat tradisional dalam wujudnya namun memiliki fungsi praksis bagi kehidupan mereka itu seperti sangkaan Cernea maupun Li, dianggap tidak mampu menjadi modern atau berperan dalam struktur modernitas ?
Bagi tokoh penganjur evolusionis, menganggap bahwa setiap masyarakat akan terus berkembang mengikuti pola linier melaju ke tahap akhir seperti yang telah dikemukakan Comte. Namun demikian pola perkembangannya, menurut Sorokin tidak memiliki watak yang selalu harus sama, dan tidak hanya berbentuk pelipat gandaan bentuk masyarakat sebelumnya akan tetapi memiliki variasi-variasi yang tergantung pada tema-tema budaya yang luas diaktualisasikan (Johnson, 1988:p.95). Kenyataan ini memperjelas paham perkembangan tentang masyarakat dalam dua dimensi yang disatukan. Meskipun menimbulkan kerancuan analisis, karena kurang deterministis dalam menentukan bentuk perkembangan masyarakat dari penyebab kausalnya, polanya, dan bentuk akhirnya, akan tetapi hal yang dapat ditangkap adalah bahwa kemajuan masyarakat mewujud dalam watak yang dinamis dan variatif. Hal ini, juga secara tersirat dikemukakan Hoselitz, dalam bukunya Role of Incentives in Industrialization (1963) seperti dikutip Sayogyo, bahwa supaya masyarakat Desa dapat maju tidak harus didorong untuk bekerja keras, akan tetapi memberikan ”perangsang” sedemikian rupa sehingga dapat memperbesar kegiatan orang bekerja, memperbesar keinginan orang untuk menghemat dan menabung, serta memperbesar keberanian orang untuk mengambil resiko usaha, agar mereka dapat beraktifitas mengikuti pola sistem-sistem pola produksi modern (2002:p.25-26). Sehingga kebijakan dalam kerangka revitalisasi pertanian yang diwujudkan dalam program pembangunan pertanian dalam berbagai bentuknya yang bertujuan untuk peningkatan kemajuan masyarakat petani, seperti inovasi teknologi, kemudahan fasilitas kredit, dan land reform menuju kearah peningkatan kemampuan untuk berusaha sendiri hendaknya dipadukan dengan struktur sosial (Soedjatmoko, 1983:p.72-75; Sjahrir, 1988:p.314-323; Korten, 1988:p.374-379). Selanjutnya, bagaimanakah ranah kontekstual ”struktur masyarakat” yang dapat berfungsi sebagai mediasi bagi kelangsungngan kemajuan masyarakat termasuk di dalamnya mampu menampung ”air” pembangunan baik yang hasil kucuran dari masyarakat itu sendiri maupun rembesan yang berasal dari luar masyarakat, tidak terkecuali Pemerintah sebagai agen Pembangunan ?.

Selasa, 08 April 2008

Implikasi Praktis Ruang Sosial bagi Pembangunan

Dalam konteks pembangunan, Pembangunan nasional yang sesuai karena dijiwai oleh etika masa depan yakni pembangunan dalam istilah ruang sosial, development in terms of sosial space, yang sementara mengintegrasikan faktor bumi dan manusia, tidak mengabstrakkannya sama sekali. Maka ruang sosial menjadi modal sosial yang semakin penting dalam keseluruhan modal sosial yang diandalkan dalam proses pembangunan. Apalagi kita sedang berada di suatu momen historis di mana kemampuan bertindak, individual atau kolektif, menangani ruang cenderung meningkat. Ruang sosial itu bukanlah suatu substansi yang abstrak, tetapi suatu ruang hidup manusia yang konkret, diciptakan dalam konteks (pembangunan) suatu komunitas tertentu, lokal maupun nasional. Dalam dimensi objektif, material, kultural, dan spiritualnya, ruang sosial ini adalah produk transformasi alam melalui proses pikiran dan kerja manusia. Alam itu bisa berupa sungai, danau, daratan, pantai, lautan, hutan, dan lain-lain. Ruang sosial itu juga merupakan sebuah pementasan dari interaksi sosial dan direkayasa oleh penduduk dalam berbagai derajat intervensi/perubahan, dari mulai modifikasi yang terkecil (pembangunan gedung sekolah) yang dampaknya kecil saja pada lingkungan, modifikasi menengah (pembangunan kampus, waduk, kompleks industrial), sampai modifikasi terbesar (pembangunan kota, provinsi, pulau) yang pasti mengubah tata lingkungan (Yoesoef, 2007[1]). Lebih jauh Yoesoef menyatakan, Secara filosofis pembangunan dalam arti ruang sosial ini diformulasikan sebagai suatu "gerakan komunitas" yang tak berkesudahan. Pembangunan seperti itu mengharuskan adanya partisipasi penduduk setempat dalam pilihan dan pendirian proyek di permukimannya. Kalau berupa waduk, misalnya, sejak perencanaan rakyat di sekitar sudah diajak bicara, mengenai tujuan, dampak dan lebih-lebih opportunity costs bagi mereka, berdasarkan pandangan tradisional, kearifan lokal, dan/atau filosofi etnis. Artinya, mereka tidak hanya dijadikan penonton yang pasif. Pengikutsertaan rakyat inilah yang kiranya disebut participatory democracy dan pembangunan disebut participatory development. Penduduk dengan buminya dibuat manunggal, dijadikan senasib dengan ruang alami di mana mereka berada dalam dan selama proses pembangunan.
Terkait dengan apa yang dikemukakan Daoed Joesoef tentang gugatannya terhadap pelaksanaan pembangunan maka seharusnya pembangunan terhadap masyarakat dikembangkan bertitik tolak dari refleksi masyarakat dari berbagai tantangan ekternalnya. Selanjutnya berbagai deformasi internal masyarakat yang telah mapan sesungguhnya akan lebih mapan sesuai dengan kemampuannya dikembangkan. Memontum ini semestinya menjadi titik tolak pelaksanaan pembangunan sebagai perubahan paradigma.
Melihat pengalaman pelaksanaan pembangunan di Indonesia, antara pemerintah yang bercorak struktur pembangunan (modern) dan masyarakat bercorak struktur tradisional, menurut hasil studi Tjondronegoro (1977:p.350-352) mengemukakan bahwa hasil studi yang menggunakan paradigma-lembaga memisahkan ke dua entitas tersebut dengan sejumlah karakteristik pembeda, dimana organisasi modern (sebagai hasil introduksi pihak atas desa) terlihat sangat terikat oleh ketundukaannya atas penguasa (power compliance), sedangkan lembaga tradisi oleh atas kebutuhan (need compliance). Dikatakan ada bidang retak yang membelah antara organisasi dan lembaga di pedesaan, sehingga di antara keduanya tercipta kekurangserasian dalam penjalinan fungsi, atau adanya keterbelahan moral dalam konteks kelembagaan pembangunan.
Ketidaksesuaian dalam hal “moral” antara pembangunan yang dilaksanakan oleh Negara dengan pembangunan yang dibutuhkan oleh masyarakat adalah pandangan pelaksanaan pembangunan yang dilihat dari perspektif keterkaitan antar entitas yang masing-masing tidak memiliki kekuatan yang sama, yakni antara masyarakat pedesaan dan Negara sebagai kekuatan social bentuk lainnya. Namun jika dilihat dari dimensi kultural apakah akan menghasilkan kesimpulan yang sama ?. Seperti diungkap Nygren (2007) yang melihat rekonstruksi pengetahuan lokal masyarakat San Juan-Nikaragua dikaitkan dengan system pengetahuan global. Ia mengemukakan bahwa dalam melihat system pengetahuan local tidak dapat hanya dibatasi pada system pengetahuan masyarakat pada batas lingkungannya saja, akan tetapi harus dilihat secara universal dan berhadapan dengan bermacam-macam pengetahuan di luarnya. Menurutnya system pengetahuan local bukanlah kambing hitam underdevelopment karena di dalmnya telah bernegosiasi dengan dunia luar.
Oleh karenanya “ruang sosial” dalam tulisan ini akan ditempatkan sebagai media yang mampu mengorganisasikan dua terminology pembangunan, yakni yang bersumber dari Pemerintah sebagai agen dan kekuatan-kekuatan internal masyarakat. Maksud ditempatkannya ruang sosial tersebut dalam konteks pelaksanaan pembangunan dimungkinkan bagi warga masyarakat mewujudkan cita-cita yang terkandung dalam pembangunan dalam tatanan yang terdefinisikan, baik secara sosial, teknologi, ekonomi, dan politik. Tentunya wujud dari pembangunan yang dapat terdefinikan oleh masyarakat adalah adanya pernyelesaian berbagai hambatan cultural secara sosial dalam bentuk dinamika perubahan struktural masyarakat dalam merespon tekanan pembangunan. Tekanan-tekanan struktural semacam ini akan melahirkan gerakan-gerakan positif budaya yang kemudian mengejawantah dalam perilaku ekonomi, sosial, teknologi dan politik.
Secara skematis “ruang sosial” yang berfungsi sebagai “panggung sosial” sebagai arena bertemunya berbagai aspirasi dari kedua belah pihak, yakni masyarakat sebagai konsumen penerima berbagai agenda pembangunan dengan Pemerintah yang membawa misi pembangunan dengan menggunakan latar berbeda. Di dalam ruang ini dimungkinkan terjadinya forum pertemuan bagi ke dua belah pihak untuk sama-sama melakukan kolaborasi terhadap kekuatan masing-masing dalam wujud instropeksi internal maupun eksternal. Bagi pemerintah, kewajiban membangun masyarakat demi perkembangan dalam arti pertumbuhan masyarakat untuk kemajuan Negara dapat dilaksanakan dalam agenda yang tidak memonopoli terhadap berbagai aneka “kebutuhan” masyarakat. Sering kebijakan pembangunan dari Pemerintah kepada rakyat mengalami berbagai resistensi dari pihak obyek penerima pembangunan dalam bentuk partisipasi yang rendah. Oleh karena bungkus pembangunan biasanya bercorak “organisasi” formal demi memudahkan pelaksanaannya. Sedangkan bagi masyarakat, memiliki kesempatan mengembangkan variasi kemampuan dalam bentuk dinamika struktur system sosialnya untuk mewadahi agenda pembangunan seperti yang diinginkan pihak Negara melalui berbagai upaya agenda sosial dalam kerangka komunikasi antar individu dengan individu, individu dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok.



























Ruang Sosial, mungkinkah ?

Ruang Sosial: Perspektif Sosiologis

George Simmel (1858-1918) adalah salah satu tokoh pertama yang memberikan buah pikir berupa penawaran pengertian yang penting pada konstruksi tentang “ruang sosial”. Banyak tulisan Simmel tentang ruang sosial, akan tetapi yang paling terkenal hanya dua artikel, lebih dulu diterbitkan pada tahun 1903, yaitu 'The Sociology of Space' and 'On the Spatial Projections of Sosial Forms' . Selanjutnya Ia meninjau kembali dan memperluas pada bab tersebut pada buku, Soziologie, yang diterbitkan pada tahun 1908, kemudian menambahkan tiga esei penting yakni "The Sosial Boundary', 'The Sociology of the Senses' dan 'The Stranger' (Fearon, 2007).
Simmel tidak menyajikan suatu teori ruang sosial secara terorganisir. melainkan hanya mengkaitkan antar konsep, konteks dan contoh orientasi menurut sejarah, untuk menyediakan perkakas heuristik bagi pendekatan sosiologi ruang sosial. Simmel mencoba ke katalog sebagai kenyataan mengenai ruang sosial. Ia memusatkan pada lima bingkai dasar konstruksi ruang, meliputi:
1. Eksklusivitas Ruang: sesungguhnya tidak ada dua badan dapat menduduki pada ruang yang sama. Ruang sosial dikonstruksi oleh wujud dan eksklusivitas, dimana kelompok itu menempatinya, seperti eksklusif nation-state, atau gereja katolik umum.
2. Ruang merupakan subbagian (subdivided) untuk maksud sosial dan yang dibingkai dalam batasan-batasan atau sekat-sekat (boundaries). Berlawanan dengan pengertian batasan-batasan alamiah. Ruang sosial adalah bukan ruang dalam arti fisik dengan konsekwensi sosiologis, melainkan sebuah fakta sosiologis yang membentuk ruang. Artinya batas yang dimaksud adalah tersedianya bentuk khusus untuk pengalaman dan interaksi. Sebagai contoh, demi penguatan keteraturan sosial di dalam batas-batas politis (sebagai basis untuk nasionalisme) dibutuhkan relasi antar batas yang ada untuk mewujudkan pengertian yang sama.
3. Pemusatan atau pencampuran interaksi sosial dalam ruang juga mempengaruhi formasi sosial. Gereja, sebagai contoh menyatukan berbagai unsur-unsur yang berbeda untuk bersama-sama. Modernisasi transportasi dan teknologi komunikasi, bagaimanapun, memungkinkan beberapa fleksibilitas dan meningkatkan interaksi atau tidak perlu presence phisik individu.
4. Semua interaksi sosial bisa ditandai oleh tingkat jauh dekatnya antar individu dan kelompok. Dicontohkan pengalaman kehidupan di metropolis yang dicirikan oleh peningkatan kedekatan secara fisik, maka “ruang personal” (personal space) harus dikelola agar tidak menjadi pemicu kemarahan. Idealisasi dan stereotype kelompok dapat merusak kedekatan fisik. Pemusatan penduduk di kehidupan kota memaksa individu terangsang secara berlebihan (overstimulated) dari seringnya berinteraksi dengan lainnya. Oleh karenanya warga kota memiliki pendirian untuk menjaga jarak dengan lainnya melalui perilaku “konformitas” dalam bentuk mengikuti gaya hidup untuk mempertahankan eksistensinya.
5. Hubungan khusus pada suatu kelompok namun telah mengalami perubahan lokasi, seperti masyarakat suku akan tetapi telah mengalami perpindahan ke tempat lain. Dimensi ini Menekankan sesuatu yang abstrak (strangeness) sebagai suatu unsur interaksi sosial, bahwa semua hubungan sosial berpaut beberapa tingkat. Tulisan Simmel tentang “The Stranger” adalah sebuah contoh, di mana "jarak hubungan tidaklah hanya ditentukan oleh kondisi hubungan antar orang-orang, tetapi adalah juga simbol-simbol di dalam hubungan itu ".
Selanjutnya Simmel menyimpulkan dengan memusatkan perhatian pada bagaimana interaksi sosial menghasilkan berbagai efek mengenai format ruang. Ia mendiskusikan empat domain tentang formasi mengenai ruang. Pertama, organisasi sosial memerlukan pengorganisasian ruang terutama pada tingkatan institusi ekonomi dan politis. Sebagai contoh, individu dapat diperlakukan dengan cara yang berbeda karena penempatan nasional mereka. Kedua, otoritas dan dominasi mendapatkan berbagai dimensi ruang, contohnya pengendalian wilayah. Ketiga, ada dimensi mengenai ruang kesetiakawanan sosial. Suatu ikatan kelompok komunal mungkin lebih kuat jika mereka mempunyai sebuah "tempat". Keempat, melalui cara yang sama, masyarakat modern sedang mengembangkan ke arah masyarakat “abstrak”, tanpa suatu pusat. Sebagai contoh teknologi komunikasi mengurangi makna ruang dalam arti fisik menjadi tidak penting karena berbagai transaksi dapat melalui Internet.
Melalui rumusan Simmel di atas, dapat dilakukan pendekatan konsep ruang sosial melalui dua kategori. Pertama; ruang sosial dikembangkan dari asumsi dasar interaksi non fisik dalam arti interaksi menggunakan simbol-simbol tertentu dalam dominasi kepentingan untuk mencapai tujuan. Kepentingan menjadi salah satu elemen penting yang berfungsi sebagai sekat yang membatasi ruang satu dengan lainnya. Tentunya meskipun dibatasi oleh sekat, interaksi dapat berlangsung karena adanya kesamaan unsur-unsur yang dipergunakan sebagai pengait untuk mengatakan sebagai suatu kepentingan yang sama. Kedua; model interaksi tersebut merupakan bentuk interaksi “alternatif” dari bentuk normatifnya karena adanya perilaku konformitas atas sebuah situasi tertentu—yang terpaksa masyarakat harus meresponsnya ke dalam bentuk-bentuk konformitas. Ketiga; sebagaimana kelanjutan poin pertama dan kedua maka dimensi ruang membentuk pengelompokan berdasarkan pada atribut-atribut tertentu berskala horizontal maupun vertikal.
Habermas menggunakan istilah berbeda dalam memberi arti terhadap model interaksi semacam ini, yaitu ruang publik (public sphere), Prinsip ruang publik melibatkan suatu diskusi terbuka dari semua isu tentang berbagai masalah dimana pada forum ini perbincangan dalam berntuk argumentasi diutarakan untuk membentuk minat umum dan masyarakat komunikatif (public good). Ruang publik dengan begitu mensyaratkan kebebasan untuk menyuarakan dan merakit suatu pers merdeka, dan hak secara bebas mengambil bagian dalam pengambilan keputusan dan debat politis. Setelah melalui mekanisme demokratis tersebut, Habermas mengusulkan suatu “ruang publik” yang dilembagakan melalui konstitutional masyarakat untuk menjamin suatu cakupan tentang kebenaran idiologi, dan yang mendirikan suatu sistem dalam rangka berfungsi sebagai media penengah antara klaim berbagai individu atau kelompok, atau antara individu dan kelompok dan Negara (Kellner, 2007).
Inti pemikirannya adalah memediasi antara perhatian pada individu secara internal berkaitan dengan keluarga mereka, ekonomi, dan kehidupan sosial berhadapan dengan kehidupan publik. Ini bertujuan untuk menanggulangi minat pribadi selanjutnya untuk menemukan minat banyak orang dan untuk menjangkau konsensus bermasyarakat. Konsep Habermas tentang ruang publik dengan begitu adalah uraian tentang suatu institusi ruang dan praktis antara minat pribadi dalam hidup sehari-hari statusnya sebagai masyarakat sipil dan dunia kerja. Ruang publik berfungsi menjadi penengah antara domain keluarga dan tempat kerja—di mana minat pribadi mendominasi di satu sisi—dan status Negara yang sering menggunakan format kekuasaan yang mendominasi pada sisi yang lain. Apa yang Habermas kemukakan sebagai ruang publik terdiri dari “ruang sosial” di mana individu berkumpul untuk mendiskusikan isu publik mereka dan untuk mengorganisir melawan terhadap format sosial yang menekan dan sewenang-wenang. Pada arena ini individu dan kelompok bisa membentuk aksi-aksi sosial dalam bentuk pendapat umum (public opinion), memberi ungkapan langsung kepada minat dan kebutuhan mereka yang memiliki pengaruh secara politis. Dalam arena atau ruang ini, masyarakat diandaikan memiliki independensi untuk mengemukakan segala sikap kritisnya. Hal ini amat dimungkinkan karena ruang publik menjadikan warga mampu terbebas dari rengkuhan represi-administratif yang dioperasikan negara.
Interaksi dalam arena ini terwujud diikat oleh kesadaran yang tidak dalam arti superfisial atau kesadaran yang tidak saling melebur ataupun saling mengikuti seperti premis-premis struktural—fungsional tradisional. Karena jika interaksi semacam itu terbangun hanya diikat oleh harmoni kepentingan sementara secara keseluruhan menyembunyikan konflik laten atau tertunda. Bahkan solidaritas sosial organis harus dipelihara oleh nilai dan norma, demikian juga solidaritas mekanis. Padahal solidaritas organis adalah ekspresi dari kesadaran kolektif kendati strukturnya berbeda. Solidaritas mekanis tidak dapat digantikan oleh mekanisme sistemik seperti pasar yang mengkoordinasikan orientasi kepentingan. Namun pada arena ini setiap individu meski terdeferensiasi secara pengetahuan kultural namun perbedeaan ini ditransformasikan melalui linguistik untuk membentuk pemahaman timbal balik secara fungisional. Tindakan komunikatif ini berfungsi mentransmisikan dan memperbaruhi pengetahuan kultural dan menciptakan integrasi sosial dan solidaritas, dan akhirnya sosialisasi yang membentuk identitas pribadi. Proses reproduksi ini menghubungakan situasi-situasi baru dengan kondisi dunia—kehidupan yang telah ada dan dilakukan dalam dimensi semantik makna dalam kelompok yang teritegrasi (Habermas, 2007:p.162-189).
Lebih lanjut menurut Habermas (2007:p208-210,386-387), interaksi dalam ruang yang dinamainya dunia—kehidupan dimana pada arena ini berlangsung interaksi sosial. Interaksi sosial terbentuk dapat juga merespon terhadap berbagai guncangan faktor-faktor eksternal seperti modernisasi, selanjutnya secara internal dunia—kehidupan melakukan deformasi, dan rei-efikasi struktur simbolisnya dibawah diferensiasi kapital maupun kelas. Di sini setiap aktor akan menjaga integrasi sosial melalui interaksi dengan mengesampingkan norma-norma sosial yang ada melainkan interaksi di kendalikan oleh diferensiasi orientasi melalui dinamika aksi.
Lukmantoro (2008) memaknai ruang berfungsi sebagai kekuatan politik Negara untuk membuat kebijakan dalam kerangka pengaturan dalam pola kebudayaan tertentu agar selanjutnya diolah dalam bentuk tindakan oleh warga negaranya. Dalam hal ini Negara adalah pihak yang memiliki kekuatan paling determinan dalam menentukan ruang-ruang untuk dibentuk dan diarahkan kepada orientasi tertentu adalah kalangan pejabat negara. Ruang-ruang administratif, misalnya, dikemas oleh kekuasaan negara secara birokratis-hierarkis. Negara berupaya menjalankan pendisiplinan terhadap warga mengikuti garis komando yang pasti. Dari situ lahir ruang-ruang birokrasi yang memiliki sifat berjenjang, seperti kelurahan, kecamatan, kabupaten, kota, dan kembali memuncak secara terpusat pada negara.
Dalam konteks masyarakat pedesaan, aksi-aksi dinamis dilakukan oleh masyarakat secara terorganisasi dalam sistem sosial, termasuk dalam rangka merespon kelangkaan relatif sumberdaya terbatas yang merupakan sumber penghidupan masyarakat (Hayami dan Kikuchi, 1987:3-5). Hayami dan Kikuchi menggunakan terminologi perubahan ekonomi masyarakat dalam hal produksi dan redistribusi untuk memfisualisasikan perubahan-perubahan besar dalam hal pranata pada masyarakat. Mereka melihat dimensi pentingnya struktur sosial sebagai aspek variabel pengaruh terjadinya perubahan pada masyarakat. Artinya struktur sosial akan berfungsi sebagai faktor penghalang (barrier) bagi keleluasaan anggota struktur untuk berperilaku di luar kontrol struktur yang telah disepakati, tidak terkecuali dalam rangka mengembangkan sikap keterbukaan terhadap pengaruh-pengaruh “baru” dari luar. Namun penyimpangan perilaku itu bisa terjadi apabila sikap keterbukaan dari berbagai unsur “baru” yang berasal dari luar itu disertai oleh ketersediaan sumberdaya melimpah, hingga tidak diperlukannya pranata yang mengatur secara ketat terhadap pemanfaatan sumberdaya tersebut. Hal yang disebutkan terakhir inilah dipergunakan oleh Hayami dan Kikhuci sebagai terminologi bangunan hipotesisnya, yaitu kekuatan dasar yang melandasi “keketatan” dalam struktur sosial adalah kelangkaan sumberdaya yang relative.
Bertolak dari tesis Hayami dan Kikuchi Bagi Hayami dan Kikuchi ”keketatan” struktur sosial masyarakat desa dipengaruhi oleh pola interaksi komunal tradisional atas dasar moral. Model interaksi semacam itulah yang mendasari sikap tolong menolong, dan hubungan moral tradisional. Dalam lingkungan semacam itu biasanya diperlukan biaya tinggi untuk dapat melanggar aturan yang telah dijunjung tinggi oleh mereka. Dengan meletakkan pada prinsip-prinsip demikian, kiranya tidak mudah bagi seseorang bertingkah laku mengharapkan keuntungan materi yang besar dengan melanggar aturan tanpa ia harus mengeluarkan biaya yang tinggi demi membayar ongkos untuk membeli itikat baik anggota masyarakat lainnya, termasuk untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (1987:p.24-27).
Tingkat “keketatan” struktur sosial untuk menjamin bagi berlangsungnya berbagai aktivitas dalam rangka menjaga stabilitasi kehidupan, termasuk di dalam (jika diperlukan) melakukan re-organisasi kehidupan ekonomi maupun sosial bagi prasyarat berlansungnya pembangunan (Cernea, 1989:p.144-146). Kondisi ini bisa berlangsung jika manifestasi pengelolaan peran struktur terhadap keleluasaan individu yang terkontrol diindikasikan jika kebudayaan di negasikan dengan unsur-unsurnya seperti pekerjaan, permainan, kehidupan keluarga dan kegiatan lainnya bukan dalam bentuk saling ketergantungan sehingga kemungkinan besar perubahan akan berlangsung. Sedangkan keadaan sebaliknya terjadi, jika kebudayaan sangat terintegrasi dan saling terkait sesama unsurnya memberi batas dan menentukan secara tegas terhadap hak-hak istimewa individu maka kondisi struktur akan relatif stabil (Horton dan Hunt, 1984:p.219).
Artinya, masyarakat untuk melakukan perubahan dalam rangka pelaksanaan pembangunan harus mempunyai ”arti secara sosial”. Dengan kata lain perubahan-perubahan dalam teknologi tidak memiliki makna secara sosial apabila tidak disertai oleh perubahan norma-norma, dan itu dimungkinkan mengganti berbagai kelembagaan “tradisi” yang ada dengan kelembagaan “baru” yang berfungsi dan terhubung dengan teknologi-teknologi baru tersebut. Perubahan semacam ini dapat bersifat ”asosiatif” dan ”disosiatif” bagi berlangsungnya kehidupan sosial (Suda, 1989:p.203-204).
Berkaitan dengan kemampuan reproduksi sosial masyarakat, Axelby (2007) mengidentifikasi kejadian penting tentang pengelolaan melekat “bersama” secara sosial yang menjelaskan proses evolusi pengaturan melalui interaksi dinamis antara individu, masyarakat dan agen status itu. Melalui gambaran “ruang hidup” (living space) masyarakat Gaddi (jenis masyarakat nomaden di pedesaan India) mampu mengarahkannya ke siklus tahunan migrasi sebagai pengembara dengan sekawanan mereka. Hal penting di sini adalah bagaimana tata cara mereka telah mampu dengan kreatif menginterpretasikan kembali intervensi eksternal, dan menyarankan bagaimana pengaturan situasi ini untuk mengakses padang rumput pada momen yang berbeda selama satu siklus tahunan melibatkan kombinasi yang kompleks antara formal dan yang informal, dan antara tradisional dan modern.
Pada tahap ini menghadirkan pertanyaan, mengapa proses reproduksi social ini dapat berlangsung dalam kerangka asosiatif ?, semestinya perubahan perilaku pada tingkat individu termasuk dalam rangka mencukupi kebutuhan hidupanya seharusnya mengalami hambatan secara struktural seperti yang dikemukakan oleh Hayami dan Kikhuci. Bahkan bagi penganut tradisi sosiologi konflik, berbagai perilaku menyimpang individu spesifik untuk meningkatkan kwalitas kesejahteraannya apabila tidak menguntungkan secara sistemik akan menghadirkan pertentangan-pertentangan baik secara tersembunyi maupun terang-terangan (Zeitlin, 1995:p.156-158). Sztompka mencoba mencari titik temu dua agen penting yang menyebabkan perubahan struktur, yaitu antara aktor dan struktur. Ia menamainya dengan istilah ”restrukturisasi” atau mengutip pandangan Acher tentang teori ”morphogenesis” yakni pembentukan struktural pola manusia dimulai karena adanya interaksi. Menurutnya dalam melihat penyebab perubahan, yang paling penting adalah menganalisis dualitas dalam hal ini adalah memisahkan antara struktur dan tindakan merupakan variabel yang terpisah. Karena masing-masing memiliki otonomi penciri analogi sosio-kultural yang menandai hasil akhir dari perubahan berupa sistem yang terbentuk. Inti pemikirannya adalah struktur adalah medium yang dipersiapkan, yang berkembang dari hasil interaksi. Agen membentuk dan membentuk ulang struktur sambil membentuk dirinya sendiri dalam proses itu. Boleh disebut bahwa terbentuk dialektika antara tindakan—struktur dalam rentang waktu sejarah (2004:p.232-234).
Proses dialektik antara ”tindakan” dan ”struktur” dalam menghasilkan perubahan memiliki dua arti penting, yakni pertama; perubahan yang membawa kesadaran (pengalaman subyektif) individu untuk memahami dunia sosial selama proses sosialisasi dalam arti perubahan, dan kedua; perubahan yang menghasilkan nilai-nilai baru yang dapat menghasilkan tatanan baru bagi berlangsungnya perubahan itu sendiri. Seperti disebutkan pertama, bahwa dalam proses sosialisasi selama berlangsungnya perubahan, aktor tidak mengalami kehilangan kendali atas lingkungan sosialnya. Sedangkan aspek ke dua merujuk pada hadirnya nilai-nilai baru sebagai dorongan terhadap proses interaksi dari konsekuensi aspek pertama.
Sementara dari aspek kultural, diterimanya suatu pengaruh dari luar komunitas hingga dapat diinternalisiasikan ke dalam kebudayaan suatu masyarakat diidentifikasi karena adanya kesamaan unsur-unsur budaya suatu komunitas dengan komunitas lainnya. Wissler antropolog mengawali penelitiannya tentang kebudayaan di daratan Amerika dari berpuluh-puluh golongan kebudayaan, menurutnya masing-masing memiliki kesamaan yang disebutnya culture area. Dari sejumlah kebudayaan itu memiliki ciri-ciri yang menyolok yang mengarah pada kesamaan. Kondisi inilah yang menentukan bentuk masyarakat Amerika saat ini (Koentjaraningrat, 1987:p.127-128). Gambaran itu, dimana penyebaran berbagai pengaruh dari luar komunitas cepat diadopsi oleh masyarakatnya tanpa mengalami ”hambatan” kultural (cultural lag) yang memungkinkan suatu pengaruh dapat diterima karena adanya pertemuan dua atau lebih unsur-unsur kebudayaan yang bersifat universal (Poerwanto, 2000:p.100-101).
Bergegas dari kedua pandangan di atas: Pertama; pendekatan struktural yang melihat bahwa perubahan sosial dalam struktur dilihat dari perubahan tindakan pada tingkat individu anggota struktur berlangsung secara asosiatif karena terjadi proses dialektis yang mempertemukan antara individu dengan struktur pengikatnya. Kedua; selanjutnya perubahan sosial dapat berwujud tanpa menimbulkan cultural lag disebabkan karena adanya unsur-unsur kebudayaan yang bersifat universal. Titik tolak kedua padangan ini yang membatasi sekaligus mengkonstruksi konsep ruang sosial pada tulisan ini.